Jumat, 17 Oktober 2008

Silaturahmi Ala Facebook

Sebagai mahasiswa baru dan datang dari negara yang mengadopsi system pendidikan yang berbeda, saya perlu menggali banyak informasi sehingga saya rajin nodong senior untuk sekedar minum kopi dan berbagi best practice mereka selama kuliah. Kemarin sore saya berhasil meminta Alicia yang hampir merampungkan doktoralnya untuk minum kopi. Saya tidak begitu mengenalnya, tetapi kopi cukup ampuh untuk melumerkan hubungan senior dan junior dalam percakapan yang cukup hangat. Setelah pertemuan selesai Alicia bertanya: “nanti malam mau datang ke acara Khaled Hosseini (penulis The Kite Runner) ya?” , saya kaget dan bertanya: “how did you know?”. “Facebook…..” jawab Alicia. Dan dia menawarkan 2 extra tiket sehingga saya bisa mengajak teman-teman saya (kalau beli harganya $28).

Di lain waktu saya membuat janji dengan teman sekelas. Dia seorang Amerika keturunan Italia dan penyair yang terkenal di Buffalo. Di akhir pertemuan dia bertanya: “apa yang bisa saya lakukan untuk membantu mengatasi homesick?”, terus saya balik bertanya: “homesick?”, lalu dia jawab “ saya membaca dari tagline Facebook-mu” katanya.

Subhanallah, terlepas dari kalangan yang ingin menjaga privacy, saya sangat terharu bahwa teman-teman saya menyimpan perhatian hanya karena sebuah tagline. Hubungan saya dan teman-teman di kampus yang secara fisik sangat kaku (entah karena sibuk atau jaim) menjadi hangat dengan silaturahim virtual.

Di luar itu, Facebook menghubungkan saya dengan teman-teman lama yang tersebar di berbagai belahan dunia. Saya yang belum tentu bertemu dan berkenalan dengan keluarga mereka satu per satu di dunia nyata menjadi setidaknya bisa melihat bahwa teman saya mempunyai keluarga yang harmonis, berapa anaknya, siapa istri/suaminya, bahkan siapa yang sedang memproses perceraian.

Lebih jauh lagi, pertama kali datang ke Buffalo saya tidak mempunyai teman. Sekalinya saya menulis tagline di Facebook, teman lama saya di New Jersey...yang kenal di milis selama 7 tahun tapi belum pernah bertemu secara fisik…mengenalkan saya kepada teman-temannya yang ada di Buffalo dan mengirim saya Handphone yang tidak terpakai, sehingga saya bisa berkomunikasi.

Tidak heran jika Facebook mempunyai pemakai 100 juta orang. Layanan virtual ini sangat efektif dalam menghubungkan orang. Pihak universitas yang seringkali pusing karena announcement mereka diabaikan pada akhirnya memakai Facebook sebagai media komunikasi. Terbukti, undangan meeting atau event lebih direspon mahasiswa dengan cara memposting di Facebook dari pada menerbitkan newsletter , karena Facebook sudah menjadi bagian hidup mahasiswa seperti halnya dengan e-mail.

Perang Pohon


Perbatasan Palestina dan Israel selalu menarik untuk diperhatikan. Ketika raga tidak berkonfrontrasi, maka pohon yang mengambil alih peran sebagai invader. Gejala ini terlihat jelas di West Bank, di mana tanah bercabang dua (bifurcated): pohon pinus sebagai representasi Israel dan pohon zaitun mewakili Palestina.

Penandaan perbatasan ini tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi dilandasi pada keyakinan “land without people is for people without land”. Walaupun tanah tersebut jelas-jelas merupakan milik Palestina, tetapi pada saat itu tidak berpenghuni, dan dianggap sebagai lahan mati.

Menurut Ottoman Land Code article 78, kepemilikan tanah secara legal akan diberikan pada mereka yang menggarap dan menanami tanah (cultivated) selama 10 tahun. Perturan tersebut dilandaskan pada konsep terra-nullius (tanah kosong) yang ditingkahi paham John Lockean yang menyatakan bahwa “the initiator of the idea that labored nature established ownership”. Sejak awal pendudukan, Israel menanam pohon pinus di area West Bank dan mencoba mengklaim tanah lewat pengadilan berdasarkan article 78. Pengadilan yang memakan waktu bertahun-tahun menjadikan perbatasan itu semakin dinamis. Palestina yang menyadari wilayahnya berada dalam ancaman segera menanam pohon zaitun.

Alasan Israel memilih pohon pinus karena ia cepat tumbuh, (secara mudah mengklaim usia kultivasi 10 tahun karena tinggi pohon), visible oleh mata telanjang, dan membangun demarkasi yang sangat jelas antara tanah pendudukan dan Palestina--terutama melalui foto satelit, dan tidak bisa dipindahkan. Orang Palestina tak kalah cerdik, mereka menanam zaitun karena article 78 mensyaratkan “cultivated” yaitu pohon yang bisa dijadikan bahan konsumsi.

Selama pengklaiman tanah bergulir di pengadilan, penjaga perbatasan Israel rajin mencabut pohon zaitun dan menggantinya dengan pinus untuk memperluas area. Sebaliknya, Palestina sibuk menebang pohon pinus dan menanamnya dengan zaitun untuk merebut lagi tanah mereka. Penanaman, pencabutan, penanaman kembali, dan mencabut kembali adalah aktivitas “perang sipil” yang terjadi di West Bank selama bertahun-tahun, sampai akhirnya pengadilan memutuskan bahwa klaim tanah Israel ditolak karena pohon pinus bukan “cultivated vegetation”. Tentu saja keputusan ini mengundang reaksi dan wacana tentang pinus berkembang dan berujung pada kesimpulan bahwa pinus juga pohon kultivasi karena biji pinus bisa dimakan dan ranting pinus bisa dikonsumsi oleh kambing.

Sampai saat ini perebutan tanah masih berlangsung. Melalui JNF , Israel mengumpulkan dana untuk membeli lebih banyak pohon untuk ditanam, baik lewat sumbangan-sumbangan kecil oleh anak-anak maupun dalam skala besar. Oleh karena media massa lebih tertarik dengan perang bersenjata, maka perang sipil ini luput dari perhatian. Tanpa menumpahkan darah dan secara diam-diam, sedikit demi sedikit tanah Palestina beralih tangan..

(Disarikan dari “The Tree is the Enemy of Soldier”: A Sociological Making of War Landscapes in the Occupied West Bank. Irus Braverman)