Senin, 20 Februari 2012

Jeremy Lin dan "Linsanity"

“Lin-sanity” alias kegilaan pemirsa NBA pada bintang baru dari New York Knicks, Jeremy Lin, sepertinya bukan euphoria biasa. Lin, dalam 2 minggu terakhir membawa team Knicks yang menurut penggemarnya “tough to watch” karena sering kalah dan bertengger pada ranking mediocre, menjadi team yang memenangi 7 pertandingan berturut-turut. Kemenangan Knicks yang tiba-tiba dan fenomenal justru terjadi ketika pemain utamanya, Carmello Anthony, harus keluar dari arena karena cedera dan digantikan oleh pemain cadangan underdog, Jeremy Lin.

Jeremy Lin (23), seorang Amerika keturunan Taiwan, adalah pemain basket bertubuh “mungil” dibandingkan atlet basketball lainnya. Walaupun ia bermain cemerlang semasa SMA, tidak ada satupun universitas yang menawarinya beasiswa atlet ketika lulus, sehingga dia kuliah di Harvard dengan biaya sendiri. Bahkan setelah lulus dari Harvard, tidak ada satupun team yang menawarinya kontrak, bahkan dia dua kali “didepak” dari klub-klub basketball kelas dua. “Keberuntungan” lah yang membawanya menjadi benchwarmer di tim New York Knicks, pemain cadangan yang jarang dipakai (benchwarmer secara literal berarti orang yang menduduki bangku agar tetap hangat ketika pemain utama singgah untuk duduk/time out). “Keberuntungan” Jeremy hanya masalah waktu, ketika pemain utama Knicks cedera, ia mempunyai kesempatan untuk bermain melawan New Jersey Nets, dan membawa Knicks menjadi juara mulai saat itu hingga enam pertandingan berikutnya. Kejayaan Knicks membawa semangat baru pada tim, pemirsa di Madison Square Garden, dan masyarakat New York pada umumnya.

Mengapa saya menyebut fenomena Linsanity bukan euphoria biasa? Bukan hanya karena Jeremy Lin dapat membuktikan bahwa ketekunan dan kegigihan ala Asia bisa membawa keberhasilan dan membuat bangga komunitas Asian American, atau kaosnya terjual di 23 negara berbeda hanya dalam watku dua minggu setelah ia naik daun, atau fenomena Linsanity “memaksa” penyelesaian sengketa antara TV kabel dan MSG yang deadlock berbulan-bulan, tetapi permainan Jeremy Lin membawa spirit baru pada tim Knicks dan pada pada olah raga basket secara umum. Inilah beberapa contohnya:

Tidak seperti pemain basket lain yang egois dan selalu mengedepankan membuat gol agar dapat menaikan statistic individualnya (yang linear dengan naiknya pamor dan nilai kontrak), sepertinya spirit Asian values yang mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan sendiri melekat kuat pada Lin. Dalam permainannya, ia selalu memperhatikan kepentingan seluruh anggota tim. Dia pandai membaca situasi, tahu kapan harus menyerahkan bola dan mendukung rekannya untuk membuat skor, tetapi ia juga tahu kapan harus membuat skornya sendiri. Seperti yang diungkapkan dalam sebuah wawancara, dia tidak ingin menjadi super star, tetapi ingin menjadi “point guard” yang baik, yang membantu para forwarder atau center untuk mencetak skor dan membuat skornya sendiri jika memungkinkan. Dalam beberapa permainan, ketika skor lawan bersaing ketat atau draw, biasanya Lin melupakan kelompoknya dan bermain “sendiri” di menit-menit terakhir untuk mencetak gol kemenangan. Aksi yang sama, tidak akan terlihat di babak-babak awal permainan.

Positive attitude: Lin memperlihatkan positive attitude selama bermain dengan keriangan bahasa tubuhnya. Ketika ia melakukan kesalahan, ia tidak menunjuk hidung pada orang lain, tetapi mengakuinya dan tahu kapan ia harus menebusnya. Sikap ini menular pada pemain lainnya. Bahkan penulis buku “When the Garden was Eden” (maksudnya ketika Knicks merajai permainan NBA di Madison Square Garden tahun 70an) menulis bahwa Lin membawa kembali spirit kerjasama kelompok yang dulu dipunyai Knicks di masa kejayaannya.

Rendah hati: walaupun banyak pujian di sana sini dan menjadi celebrity dadakan, bahkan permainannya menarik banyak celebrity untuk datang ke Madison Square Garden (dalam permainan melawan Dallas Mavericks, celebrity sekelas Spike Lee, Kevin Costner, bahkan pendiri Facebook Mark Zuckerberg berada di kursi penonton tepat di belakang bangku pemain Knicks), Lin tetap rendah hati dan tetap focus. Ketika diwawancarai dia hanya mengatakan bahwa tidak adil untuk memujinya secara pribadi karena kemenangan Knicks adalah kemenangan sebuah tim, bukan individual.

Lin adalah contoh sebuah kegigihan dan ketekuan. Walaupun kemampuannya tidak diakui di sana sini, tetapi ia tetap berlatih dan menunggu kesempatan. Ketika kesempatan itu benar-benar tiba, dia siap menunjukan kemampuannya. Persistence dan perseverance adalah kunci keberhasilannya.

Terakhir popularitas dadakan Lin membuatnya disempalkan dalam permainan NBA rising star di bawah tim Shaq O'Neal karena daftar yang dibuat sebelumnya tidak memuat nama Lin di kedua tim. Tetapi, dia meminta agar permainannya dibatasi, hanya 8 saja menit dari total 4 x 15 menit. Ada dua alasan mengapa ia bermain sangat sebentar, pertama ia telah bertanding 2 hari berturut-turut ditambah perjalanan ke Orlando yang menguras tenaga, kedua, dia sadar bahwa forum NBA rising star adalah milik pemain pemula yang punya potensi sama atau lebih hebat dari Lin, tetapi belum memperoleh kesempatan liputan media. Lin tidak mau menyapu atensi media dan penonton, sehingga Lin benar-benar tenggelam dalam liputan kali ini. Walaupun ada sedikit laporan, itu hanyalah sebaris kalimat yang menyatakan bahwa dibandingkan pemain lain, Lin hanya mencetak 2 skor dalam 8 menit, dan sedikit catatan tentang Alley-oop nya untuk Blake Griffin.

Terlepas dari low profile Lin dari kamera kali ini, di akhir pertandingan rekan satu timnya, Landry Fields, mengibarkan majalah Times edisi Asia kepada pemirsa dan pemain lain, seolah-olah Fields menyampaikan pesan, "guess, who is the cover boy?", dan mengingatkan bahwa Linsanity masih eksis.

Di balik kontroversial isu rasisme yang menyebabkan kemampuan Lin dilirik sebelah mata, sportmanship-nya telah membangun stereotype positif tentang Asia sebagai pekerja keras, liat, dan tangguh serta membangkitkan kembali semangat berkelompok dalam olah raga yang semakin lama semakin individual. Keberhasilan Lin menjadi preseden bagi atlet Asian American atau kelompok etnis minoritas lainnya, sehingga tidak berlebihan jika demam Linsanity masih meruap dan termanifestasi dalam volume penjualan merchandise the Knicks no. 17 maupun Linsanity dalam bentuk Jersey sampai es krim produksi Ben & Jerry.