Serial artikel "Berkencan (lagi) di Usia 40 an" adalah cerita pengalaman yang ingin saya bagi dan bisa menjadi referensi bagi teman-teman yang ingin memulai hubungan lagi. Pengalaman ini sangat context-specific, karena settingnya terjadi di Amerika dengan lawan jenis warga negara Amerika pula. Walaupun demikian, semoga sharing ini bisa bermanfaat bagi perempuan di usia sebaya saya yang ingin mencoba lagi berkencan di usia yang tidak lagi muda.
N
----------------
Setelah
melalui HTS dengan “suami” selama dua tahun (hubungan tanpa status, maksudnya
masih menikah tapi secara de-facto
tidak menikah, cerai juga nggak atau belum), saya mencoba keluar dari situasi
ini dengan mencicipi dunia perkencanan. Tetapi setelah 18 tahun bersama pria
yang sama dan hidup di dunia yang baru di mana budayanya berbeda dengan di
Indonesia, saya sedikit bingung bagaimana memulai kencan lagi. Selain itu, tidak
mudah mencari prospektif partner dengan mengandalkan serendipity; seberapa jauh
sih kita bisa melangkah dan kebetulan bertemu dengan pria idaman jika rute aktifitas
yang kita lalui masih itu-itu juga dari hari ke hari, terutama dengan padatnya
jadwal untuk bekerja dan mengurus anak-anak?
Akhirnya, saya memutuskan untuk bergabung
di online dating. Jangan kaget dulu, namanya juga kan tasting the water. Saya klik
website kencan yang paling besar dan familiar dan mulai membuat profil. Langkah
pertama yang mereka anjurkan adalah saya membuat judul yang catchy, karena
diantara puluhan atau ratusan perempuan yang beredar di jalur kencan maya,
tentulah saya ingin merebut perhatian, bukan? Lalu saya bubuhkan judul, foto
close up, dan dua buah foto casual seluruh badan. Saya memilih foto yang
diambil oleh orang lain, bukan foto yang diambil sendiri dengan memakai
HP/webcam. Karena saya tidak akan tertarik dengan profil pria yang fotonya
diambil sendiri. Narsis dan gimanaa…gitu kesannya. Jadinya saya tidak ingin
membubuhkan foto narsis pula.
Setelah memasang judul dan foto,
langkah berikutnya adalah menulis bio singkat, menarik perhatian tapi nggak
murahan, tentang siapa saya dan apa yang saya cari. Karena saya memasang profil
di jaringan kota tempat saya tinggal di wilayah barat New York, saya paparkan
secara terus terang bahwa saya berasal dari Asia Tenggara, hangat, dan friendly
(ceileh..). Kemudian saya paparkan bahwa saya mencari pria yang matang, intelek
kalau diajak ngobrol, dan bertanggung jawab. Langkah selanjutnya adalah menulis
kegiatan, olah raga, atau hal-hal yang digemari. Tidak hanya itu, mereka juga
ingin tahu warna kulit, warna rambut, warna mata kita termasuk warna- warni
yang melekat di tubuh pria idaman, jenis pekerjaan, penghasilan, dan tingkat pendidikan
apa yang kita cari dari calon partner? Setelah melalui proses semua itu,
akhirnya profil saya selesai dibuat dan mulailah saya “menjual” diri di jalur
kencan.
Saya membayar keanggotaan untuk tiga
bulan karena beberapa alasan: pertama, harganya paling murah jika dibandingkan
keanggotaan satu bulan, 6 bulan, atau satu tahun. Kedua, saya tidak yakin akan
menemukan pria yang tepat dalam waktu satu bulan. Tiga bulan
rasanya cukup untuk mencoba dan jika tidak berhasil menemukan seseorang, saya akan cabut
dari kencan di dunia maya.
Ternyata, sehari setelah profil saya
beredar, saya mendapat beberapa kedipan (wink) dan e-mail. Saya tidak
menanggapi kedipan, karena jika pria itu memang serius ingin kenalan, pastinya
dia akan menulis e-mail. Dalam jangka waktu dua bulan, saya menerima e-mail
lebih dari 100 orang, tetapi hanya membalas 22 e-mail yang saya anggap menarik.
Setelah saling berkenalan dengan 22 orang tersebut, kami sepakat untuk bertemu
di dunia nyata.
Untuk perkenalan di dunia nyata, saya
selalu memilih coffee shop yang tidak jauh dari rumah dan bertemu di siang atau
sore hari. Biasanya saya selalu datang 10 menit lebih awal dan membeli kopi
sendiri, karena jika si pria membelikan kopi akan mengakibatkan lemahnya posisi
control saya akan pertemuan itu (Amerika banget deh). Jika pertemuan di warung
kopi ini menyenangkan, maka si pria akan mengajak bertemu lagi untuk pergi
berkencan di lain waktu.
Masalahnya, saya bertemu dengan 22
orang yang semuanya mengajak bertemu lagi. Karena pria yang saya cari adalah
kisaran usia 44 sampai 52 tahun, maka sebagian mereka pernah menikah dan
mempunyai anak. Sebagian besar adalah eksekutif di perusahaan yang secara
ekonomi mapan dan punya kesamaan: MBA, kulit putih, dan konservatif. Kadang-kadang saya berpikir, kok bisa saya "terjebak" dalam pattern yang sama. Tetapi salah seorang dari mereka menanggapinya secara bercanda: "maybe conservatives are better lovers". Sedangkan alasan mereka memilih saya adalah “good catch”, karena berpendidikan tinggi dan enak diajak ngobrol adalah dua dari banyak alasan yang dikemukakan.
Dari
22 orang ini saya harus memilih: siapa yang paling sedikit punya masalah dengan
masa lalu? Siapa yang merasa confident dengan hidupnya? Siapa yang tidak
perhitungan? Dan yang paling penting, dengan siapa saya merasa nyaman saat ini
dan di masa depan? Dari 22 orang tersebut akhirnya saya memilih fokus terhadap
4 orang. Singkat cerita, di bulan kedua profil saya beredar di dunia maya, saya
sudah mendapat 2 calon kuat yang ingin saya seriusi, dan saya meninggalkan
website kencan padahal masih punya satu bulan sebelum masa keanggotaan habis.
(Bersambung ke “Dating Landscape yang Berbeda).