Rasialisme dan stigmatisasi terhadap sebuah kelompok ternyata tidak bisa begitu saja dihilangkan walaupun di negara yang multikultur seperti Amerika. Salah satunya adalah di negara bagian New York, jika kita diperdengarkan nama kota "Bronx", maka yang terlintas di benak kita adalah: kulit hitam, miskin, kumuh, musik hip-hop yang gempita, perkelahian antar gank, dan narkoba. Setidaknya itu stereotype yang disampaikan oleh film-film Hollywood kepada kita yang nggak pernah mampir disana.
Pada kenyataannya, isu rasial, stereotyping, dan stigmatisasi terhadap kulit hitam memang sangat kental di NY. Di wilayah barat New York, masyarakat seakan terbelah dua menjadi wilayah "hitam" dan "non hitam". Wilayah hitam (karena banyak penduduk kulit hitam) meliputi kota Buffalo (kota besar) dan wilayah non hitam (dimana kulit putih dan berwarna tinggal) yang meliputi wilayah Amherst, Tonawanda, Cheektowaga, Rochester, Williamsvile, dan sekitarnya (sub-urban). Uniknya lagi, pembagian wilayah ini juga ditandai oleh keberadaan kampus SUNY Buffalo (State University of NY at Buffalo), di mana South campus berada di wilayah hitam dan North campus berada di wilayah non-hitam.
Orang-orang kulit putih dan kulit berwarna sangat enggan diasosiasikan dengan orang kulit hitam sehingga mereka memilih tinggal di daerah North campus. Sebagai dampaknya, harga property dan biaya hidup menjadi lebih mahal, pajak lebih tinggi, tetapi tidak menyurutkan orang untuk tinggal di sana, padahal statusnya adalah sub-urban. Sedangkan daerah South campus mulai ditinggalkan orang, sehingga Buffalo yang tadinya merupakan kota besar berubah menjadi kota yang matisuri karena business pun berpindah ke wilayah North campus. Selain itu, dimunculkan stigma bahwa di wilayah South campus itu adalah wilayah kekerasan.
Saya yang memilih tinggal di South campus (karena alasan efektivitas dan biaya--bayangkan, di South cammpus apartemen berkisar $400 sedangkan di North campus $650-$750 untuk seorang. Padahal kampus saya di North tapi ada shuttle bus gratis dari South) sering diwanti-wanti oleh teman dari Indonesia tentang kejahatan dan kekerasan yang dilakukan oleh kulit hitam. Tetapi, dalam kenyataannya mereka baik-baik saja, apalagi saya biasa belanja di supermarket atau departement store tempat mereka belanja. Ya, saya bisa melihat kemiskinan itu, mereka membeli barang-barang kualitas rendah dengan harga di awah $10 di AJ Wright, atau belanja di TOPS supermarket dengan kalkulator di tangan. Atau saya bisa antre lama di kasir karena menunggu mereka mengais recehan di dompet atau kekurangan uang ketika membayar.
Mereka sebetulnya orang normal yang sama seperti kita, hanya mungkin tidak banyak yang memberi mereka kesempatan untuk bekerja sehingga mereka tidak punya penghasilan dan termarjinalkan. Kemiskinan selalu dekat dengan kekerasan. Karena di wilayah South campus terkenal dengan kekerasan maka bisnis pun tidak ada yang lama bertahan disitu, akhirnya banyak terjadi pengangguran. Situasi ini menjadi lingkaran setan yang memperparah kondisi kulit hitam.
Kalau sudah begini, maka stigmatisasi semakin menguat. Bahkan polisi kampus pun berpesan :"jangan pernah pulang sendirian di malam hari, apalagi di South campus. Kalau perlu diantar silakan telepon polisi kampus" yang menyadari bahwa kulit putih dan kulit berwarna yang punya privilege sekolah di universitas menjadi paranoid oleh situasi yang tidak benar2 mereka pahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar