Sabtu, 15 Desember 2012


Song for 2013
Being Good Isn't Good Enough
Barbara Streisand

Being good isn't good enough
Being good won't be good enough
When I fly, I must fly extra high
And I'll 
need special wings so far to go
From so far below
Should I try?
Am I strong enough?
Is there time, have I long enough?
Gotta fly and if I fall
That's the way it's gotta be
There's no other way for me
Being good just won't be good enough
I'll be the best or nothing at all
I'll try, am I strong enough?
Is there time, have I long enough?
Gotta fly and if I fall
That's the way it's gotta be
There's no other way for me
Being good just won't be good enough
I'll be the best or nothing at all
----December 15, 2012---

Selasa, 04 Desember 2012

Berkencan (lagi) Di Usia 40 an (bagian 1)


Serial artikel "Berkencan (lagi) di Usia 40 an" adalah cerita pengalaman yang ingin saya bagi dan bisa menjadi referensi bagi teman-teman yang ingin memulai hubungan lagi. Pengalaman ini sangat context-specific, karena settingnya terjadi di Amerika dengan lawan jenis warga negara Amerika pula. Walaupun demikian, semoga sharing ini bisa bermanfaat bagi perempuan di usia sebaya saya yang ingin mencoba lagi berkencan di usia yang tidak lagi muda. 

N
----------------
            Setelah melalui HTS dengan “suami” selama dua tahun (hubungan tanpa status, maksudnya masih menikah tapi secara de-facto tidak menikah, cerai juga nggak atau belum), saya mencoba keluar dari situasi ini dengan mencicipi dunia perkencanan. Tetapi setelah 18 tahun bersama pria yang sama dan hidup di dunia yang baru di mana budayanya berbeda dengan di Indonesia, saya sedikit bingung bagaimana memulai kencan lagi. Selain itu, tidak mudah mencari prospektif partner dengan mengandalkan serendipity; seberapa jauh sih kita bisa melangkah dan kebetulan bertemu dengan pria idaman jika rute aktifitas yang kita lalui masih itu-itu juga dari hari ke hari, terutama dengan padatnya jadwal untuk bekerja dan mengurus anak-anak?       
Akhirnya, saya memutuskan untuk bergabung di online dating. Jangan kaget dulu, namanya juga kan tasting the water. Saya klik website kencan yang paling besar dan familiar dan mulai membuat profil. Langkah pertama yang mereka anjurkan adalah saya membuat judul yang catchy, karena diantara puluhan atau ratusan perempuan yang beredar di jalur kencan maya, tentulah saya ingin merebut perhatian, bukan? Lalu saya bubuhkan judul, foto close up, dan dua buah foto casual seluruh badan. Saya memilih foto yang diambil oleh orang lain, bukan foto yang diambil sendiri dengan memakai HP/webcam. Karena saya tidak akan tertarik dengan profil pria yang fotonya diambil sendiri. Narsis dan gimanaa…gitu kesannya. Jadinya saya tidak ingin membubuhkan foto narsis pula.
            Setelah memasang judul dan foto, langkah berikutnya adalah menulis bio singkat, menarik perhatian tapi nggak murahan, tentang siapa saya dan apa yang saya cari. Karena saya memasang profil di jaringan kota tempat saya tinggal di wilayah barat New York, saya paparkan secara terus terang bahwa saya berasal dari Asia Tenggara, hangat, dan friendly (ceileh..). Kemudian saya paparkan bahwa saya mencari pria yang matang, intelek kalau diajak ngobrol, dan bertanggung jawab. Langkah selanjutnya adalah menulis kegiatan, olah raga, atau hal-hal yang digemari. Tidak hanya itu, mereka juga ingin tahu warna kulit, warna rambut, warna mata kita termasuk warna- warni yang melekat di tubuh pria idaman, jenis pekerjaan, penghasilan, dan tingkat pendidikan apa yang kita cari dari calon partner? Setelah melalui proses semua itu, akhirnya profil saya selesai dibuat dan mulailah saya “menjual” diri di jalur kencan.
            Saya membayar keanggotaan untuk tiga bulan karena beberapa alasan: pertama, harganya paling murah jika dibandingkan keanggotaan satu bulan, 6 bulan, atau satu tahun. Kedua, saya tidak yakin akan menemukan pria yang tepat dalam waktu satu bulan. Tiga bulan rasanya cukup untuk mencoba dan jika tidak berhasil menemukan seseorang, saya akan cabut dari kencan di dunia maya.
            Ternyata, sehari setelah profil saya beredar, saya mendapat beberapa kedipan (wink) dan e-mail. Saya tidak menanggapi kedipan, karena jika pria itu memang serius ingin kenalan, pastinya dia akan menulis e-mail. Dalam jangka waktu dua bulan, saya menerima e-mail lebih dari 100 orang, tetapi hanya membalas 22 e-mail yang saya anggap menarik. Setelah saling berkenalan dengan 22 orang tersebut, kami sepakat untuk bertemu di dunia nyata.
            Untuk perkenalan di dunia nyata, saya selalu memilih coffee shop yang tidak jauh dari rumah dan bertemu di siang atau sore hari. Biasanya saya selalu datang 10 menit lebih awal dan membeli kopi sendiri, karena jika si pria membelikan kopi akan mengakibatkan lemahnya posisi control saya akan pertemuan itu (Amerika banget deh). Jika pertemuan di warung kopi ini menyenangkan, maka si pria akan mengajak bertemu lagi untuk pergi berkencan di lain waktu.
           Masalahnya, saya bertemu dengan 22 orang yang semuanya mengajak bertemu lagi. Karena pria yang saya cari adalah kisaran usia 44 sampai 52 tahun, maka sebagian mereka pernah menikah dan mempunyai anak. Sebagian besar adalah eksekutif di perusahaan yang secara ekonomi mapan dan punya kesamaan: MBA, kulit putih, dan konservatif. Kadang-kadang saya berpikir, kok bisa saya "terjebak" dalam pattern yang sama. Tetapi salah seorang dari mereka menanggapinya secara bercanda: "maybe conservatives are better lovers". Sedangkan alasan mereka memilih saya adalah “good catch”,  karena berpendidikan tinggi dan enak diajak ngobrol adalah dua dari banyak alasan yang dikemukakan.
              Dari 22 orang ini saya harus memilih: siapa yang paling sedikit punya masalah dengan masa lalu? Siapa yang merasa confident dengan hidupnya? Siapa yang tidak perhitungan? Dan yang paling penting, dengan siapa saya merasa nyaman saat ini dan di masa depan? Dari 22 orang tersebut akhirnya saya memilih fokus terhadap 4 orang. Singkat cerita, di bulan kedua profil saya beredar di dunia maya, saya sudah mendapat 2 calon kuat yang ingin saya seriusi, dan saya meninggalkan website kencan padahal masih punya satu bulan sebelum masa keanggotaan habis. (Bersambung ke “Dating Landscape yang Berbeda). 

Senin, 20 Februari 2012

Jeremy Lin dan "Linsanity"

“Lin-sanity” alias kegilaan pemirsa NBA pada bintang baru dari New York Knicks, Jeremy Lin, sepertinya bukan euphoria biasa. Lin, dalam 2 minggu terakhir membawa team Knicks yang menurut penggemarnya “tough to watch” karena sering kalah dan bertengger pada ranking mediocre, menjadi team yang memenangi 7 pertandingan berturut-turut. Kemenangan Knicks yang tiba-tiba dan fenomenal justru terjadi ketika pemain utamanya, Carmello Anthony, harus keluar dari arena karena cedera dan digantikan oleh pemain cadangan underdog, Jeremy Lin.

Jeremy Lin (23), seorang Amerika keturunan Taiwan, adalah pemain basket bertubuh “mungil” dibandingkan atlet basketball lainnya. Walaupun ia bermain cemerlang semasa SMA, tidak ada satupun universitas yang menawarinya beasiswa atlet ketika lulus, sehingga dia kuliah di Harvard dengan biaya sendiri. Bahkan setelah lulus dari Harvard, tidak ada satupun team yang menawarinya kontrak, bahkan dia dua kali “didepak” dari klub-klub basketball kelas dua. “Keberuntungan” lah yang membawanya menjadi benchwarmer di tim New York Knicks, pemain cadangan yang jarang dipakai (benchwarmer secara literal berarti orang yang menduduki bangku agar tetap hangat ketika pemain utama singgah untuk duduk/time out). “Keberuntungan” Jeremy hanya masalah waktu, ketika pemain utama Knicks cedera, ia mempunyai kesempatan untuk bermain melawan New Jersey Nets, dan membawa Knicks menjadi juara mulai saat itu hingga enam pertandingan berikutnya. Kejayaan Knicks membawa semangat baru pada tim, pemirsa di Madison Square Garden, dan masyarakat New York pada umumnya.

Mengapa saya menyebut fenomena Linsanity bukan euphoria biasa? Bukan hanya karena Jeremy Lin dapat membuktikan bahwa ketekunan dan kegigihan ala Asia bisa membawa keberhasilan dan membuat bangga komunitas Asian American, atau kaosnya terjual di 23 negara berbeda hanya dalam watku dua minggu setelah ia naik daun, atau fenomena Linsanity “memaksa” penyelesaian sengketa antara TV kabel dan MSG yang deadlock berbulan-bulan, tetapi permainan Jeremy Lin membawa spirit baru pada tim Knicks dan pada pada olah raga basket secara umum. Inilah beberapa contohnya:

Tidak seperti pemain basket lain yang egois dan selalu mengedepankan membuat gol agar dapat menaikan statistic individualnya (yang linear dengan naiknya pamor dan nilai kontrak), sepertinya spirit Asian values yang mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan sendiri melekat kuat pada Lin. Dalam permainannya, ia selalu memperhatikan kepentingan seluruh anggota tim. Dia pandai membaca situasi, tahu kapan harus menyerahkan bola dan mendukung rekannya untuk membuat skor, tetapi ia juga tahu kapan harus membuat skornya sendiri. Seperti yang diungkapkan dalam sebuah wawancara, dia tidak ingin menjadi super star, tetapi ingin menjadi “point guard” yang baik, yang membantu para forwarder atau center untuk mencetak skor dan membuat skornya sendiri jika memungkinkan. Dalam beberapa permainan, ketika skor lawan bersaing ketat atau draw, biasanya Lin melupakan kelompoknya dan bermain “sendiri” di menit-menit terakhir untuk mencetak gol kemenangan. Aksi yang sama, tidak akan terlihat di babak-babak awal permainan.

Positive attitude: Lin memperlihatkan positive attitude selama bermain dengan keriangan bahasa tubuhnya. Ketika ia melakukan kesalahan, ia tidak menunjuk hidung pada orang lain, tetapi mengakuinya dan tahu kapan ia harus menebusnya. Sikap ini menular pada pemain lainnya. Bahkan penulis buku “When the Garden was Eden” (maksudnya ketika Knicks merajai permainan NBA di Madison Square Garden tahun 70an) menulis bahwa Lin membawa kembali spirit kerjasama kelompok yang dulu dipunyai Knicks di masa kejayaannya.

Rendah hati: walaupun banyak pujian di sana sini dan menjadi celebrity dadakan, bahkan permainannya menarik banyak celebrity untuk datang ke Madison Square Garden (dalam permainan melawan Dallas Mavericks, celebrity sekelas Spike Lee, Kevin Costner, bahkan pendiri Facebook Mark Zuckerberg berada di kursi penonton tepat di belakang bangku pemain Knicks), Lin tetap rendah hati dan tetap focus. Ketika diwawancarai dia hanya mengatakan bahwa tidak adil untuk memujinya secara pribadi karena kemenangan Knicks adalah kemenangan sebuah tim, bukan individual.

Lin adalah contoh sebuah kegigihan dan ketekuan. Walaupun kemampuannya tidak diakui di sana sini, tetapi ia tetap berlatih dan menunggu kesempatan. Ketika kesempatan itu benar-benar tiba, dia siap menunjukan kemampuannya. Persistence dan perseverance adalah kunci keberhasilannya.

Terakhir popularitas dadakan Lin membuatnya disempalkan dalam permainan NBA rising star di bawah tim Shaq O'Neal karena daftar yang dibuat sebelumnya tidak memuat nama Lin di kedua tim. Tetapi, dia meminta agar permainannya dibatasi, hanya 8 saja menit dari total 4 x 15 menit. Ada dua alasan mengapa ia bermain sangat sebentar, pertama ia telah bertanding 2 hari berturut-turut ditambah perjalanan ke Orlando yang menguras tenaga, kedua, dia sadar bahwa forum NBA rising star adalah milik pemain pemula yang punya potensi sama atau lebih hebat dari Lin, tetapi belum memperoleh kesempatan liputan media. Lin tidak mau menyapu atensi media dan penonton, sehingga Lin benar-benar tenggelam dalam liputan kali ini. Walaupun ada sedikit laporan, itu hanyalah sebaris kalimat yang menyatakan bahwa dibandingkan pemain lain, Lin hanya mencetak 2 skor dalam 8 menit, dan sedikit catatan tentang Alley-oop nya untuk Blake Griffin.

Terlepas dari low profile Lin dari kamera kali ini, di akhir pertandingan rekan satu timnya, Landry Fields, mengibarkan majalah Times edisi Asia kepada pemirsa dan pemain lain, seolah-olah Fields menyampaikan pesan, "guess, who is the cover boy?", dan mengingatkan bahwa Linsanity masih eksis.

Di balik kontroversial isu rasisme yang menyebabkan kemampuan Lin dilirik sebelah mata, sportmanship-nya telah membangun stereotype positif tentang Asia sebagai pekerja keras, liat, dan tangguh serta membangkitkan kembali semangat berkelompok dalam olah raga yang semakin lama semakin individual. Keberhasilan Lin menjadi preseden bagi atlet Asian American atau kelompok etnis minoritas lainnya, sehingga tidak berlebihan jika demam Linsanity masih meruap dan termanifestasi dalam volume penjualan merchandise the Knicks no. 17 maupun Linsanity dalam bentuk Jersey sampai es krim produksi Ben & Jerry.

Minggu, 22 Januari 2012



Daftar Negara yang Toleran dan Restrictive terhadap Kewarganegaraan Ganda:

Eropa

Toleran

Restrictive

Bulgaria

Andora

Republik Federal Yugoslavia

Austria

Swedia (2003)

Belgia

Cyprus

Kroasia

Prancis

Republik Czech

Greece

Denmark

Switzerland

Iceland

Serbia dan Montenegro

Belanda

Hungaria (1993)

Norwegia

Irlandia

Polandia

Italia (1992)

Romania

Latvia

Ukraina

Portugal (1981)

Jerman* (s/d usia 23)

Lithuania

Macedonia

Malta

Spanyol

Turki

Inggris

The Americas


Antigua dan Barbuda

Bolivia

Barbados

Chile

Belize

Cuba

Brazil (1996)

Argentina

Canada (1977)

Venezuela

Chile*

Bahamas

Colombia (1991)

Costa Rica (1995)

El Salvador (1983)

Mexico (1996-2003)

Peru

USA

El Salvador (1983)

Trinindad & Tobago (1988)

Dominican Republic (1994)

Ecuador (1995)

Africa


Benin

Bostwana

Burkina Faso

Burundi

Cape Verde

Cameroon

Central African Republic

Congo

Egypt

Djibouti

Nigeria

Namibia

Mauritius

Tanzania

South Africa

Zimbabwe

Kenya, Ghana

Algeria

Angola



Asia and Oceania

Armenia, Azerbaijan

Australia (2002)

Bahrain

Bangladesh

Belarus

Cambodia

Bhutan

Israel

Brunei

Jordan

Burma

Lebanon

China

New Zealand

Fiji

Pakistan (2002)

Afganistan

Russia

Indonesia* (s/d usia 21)

Syria

Iran

Tonga

Japan

Western Samoa

Kiribati

Philippines (2003)

North Korea

India (2003, terbatas pada 16 negara migrasi)*

Malaysia

Nepal

Papua New Guinea

Singapore

Solomon Island

Thailand

Vietnam