Jumat, 22 Agustus 2008

Privilege jadi Fulbrighter

Antri untuk wawancara visa dari subuh, uang $120 untuk mengajukan visa
melayang tapi visa nggak didapat, interogasi di terminal kedatangan, ribet mengurus Social Security Number (kecuali ada surat tawaran kerja), mungkin pernah dialami teman-teman yang ingin berkunjung atau bekerja di US. Tetapi, hal-hal itu tidak berlaku bagi Fulbrighter.

Fulbright di Indonesia dikenal sebagai pemberi beasiswa yang "gengsi-nya gede, tapi duitnya dikit" (itu yang saya dengar dari orang-orang). Tapi jangan salah, privilege yang diberikan kepada penerima beasiswa Fulbright ini luar biasa.

Dimulai dari pengajuan dan wawancara visa, Fulbrighter cuma menghabiskan waktu 5 menit saja tanpa harus antri dari subuh karena jadwalnya disediakan khusus. Sedangkan teman saya penerima beasiswa Ford harus rela mengantri berjam-jam untuk wawancara yang cuma 5 menit.

Visa yang diberikannya pun khusus, J-1, yaitu exchange student yang diperkenankan untuk bekerja dan memiliki Social Security Number (SSN). SSN diperlukan untuk pengajuan credit card, berlangganan cellphone, dan transaksi2 kredit lainnya. Sedangkan pemegang visa Student (F-1) hanya bisa mendapatkan SSN apabila mempunyai surat tawaran kerja dari perusahaan lokal/kampus.

Selama pengurusan SSN pun Fulbrighter masuk ke jalur khusus, "you're special, so you don't need any recommendations"...begitu biasanya komentar officer di International service. Di kampus pun ada perlakuan khusus karena kita dilabeli "Fulbright Scholar", walaupun akhirnya itu jadi beban tersendiri karena kita bener-bener harus kerja keras untuk menjaga performance dan menjaga nama besar Fulbright.

Anyway, kalau mengenai jumlah uang yang kata orang "dikit", saya pikir relatif. Itu semua tergantung orangnya. Kalau menurut saya sih sangat cukup, bahkan bisa menabung, apalagi kalau kita rajin masak di rumah. So far, perjalanan menjadi pelajar dengan sponsor Fulbright sangat menakjubkan dan saya sangat beruntung mengalaminya.

Senin, 18 Agustus 2008

It's Tough to be a Black

Rasialisme dan stigmatisasi terhadap sebuah kelompok ternyata tidak bisa begitu saja dihilangkan walaupun di negara yang multikultur seperti Amerika. Salah satunya adalah di negara bagian New York, jika kita diperdengarkan nama kota "Bronx", maka yang terlintas di benak kita adalah: kulit hitam, miskin, kumuh, musik hip-hop yang gempita, perkelahian antar gank, dan narkoba. Setidaknya itu stereotype yang disampaikan oleh film-film Hollywood kepada kita yang nggak pernah mampir disana.

Pada kenyataannya, isu rasial, stereotyping, dan stigmatisasi terhadap kulit hitam memang sangat kental di NY. Di wilayah barat New York, masyarakat seakan terbelah dua menjadi wilayah "hitam" dan "non hitam". Wilayah hitam (karena banyak penduduk kulit hitam) meliputi kota Buffalo (kota besar) dan wilayah non hitam (dimana kulit putih dan berwarna tinggal) yang meliputi wilayah Amherst, Tonawanda, Cheektowaga, Rochester, Williamsvile, dan sekitarnya (sub-urban). Uniknya lagi, pembagian wilayah ini juga ditandai oleh keberadaan kampus SUNY Buffalo (State University of NY at Buffalo), di mana South campus berada di wilayah hitam dan North campus berada di wilayah non-hitam.

Orang-orang kulit putih dan kulit berwarna sangat enggan diasosiasikan dengan orang kulit hitam sehingga mereka memilih tinggal di daerah North campus. Sebagai dampaknya, harga property dan biaya hidup menjadi lebih mahal, pajak lebih tinggi, tetapi tidak menyurutkan orang untuk tinggal di sana, padahal statusnya adalah sub-urban. Sedangkan daerah South campus mulai ditinggalkan orang, sehingga Buffalo yang tadinya merupakan kota besar berubah menjadi kota yang matisuri karena business pun berpindah ke wilayah North campus. Selain itu, dimunculkan stigma bahwa di wilayah South campus itu adalah wilayah kekerasan.

Saya yang memilih tinggal di South campus (karena alasan efektivitas dan biaya--bayangkan, di South cammpus apartemen berkisar $400 sedangkan di North campus $650-$750 untuk seorang. Padahal kampus saya di North tapi ada shuttle bus gratis dari South) sering diwanti-wanti oleh teman dari Indonesia tentang kejahatan dan kekerasan yang dilakukan oleh kulit hitam. Tetapi, dalam kenyataannya mereka baik-baik saja, apalagi saya biasa belanja di supermarket atau departement store tempat mereka belanja. Ya, saya bisa melihat kemiskinan itu, mereka membeli barang-barang kualitas rendah dengan harga di awah $10 di AJ Wright, atau belanja di TOPS supermarket dengan kalkulator di tangan. Atau saya bisa antre lama di kasir karena menunggu mereka mengais recehan di dompet atau kekurangan uang ketika membayar.

Mereka sebetulnya orang normal yang sama seperti kita, hanya mungkin tidak banyak yang memberi mereka kesempatan untuk bekerja sehingga mereka tidak punya penghasilan dan termarjinalkan. Kemiskinan selalu dekat dengan kekerasan. Karena di wilayah South campus terkenal dengan kekerasan maka bisnis pun tidak ada yang lama bertahan disitu, akhirnya banyak terjadi pengangguran. Situasi ini menjadi lingkaran setan yang memperparah kondisi kulit hitam.

Kalau sudah begini, maka stigmatisasi semakin menguat. Bahkan polisi kampus pun berpesan :"jangan pernah pulang sendirian di malam hari, apalagi di South campus. Kalau perlu diantar silakan telepon polisi kampus" yang menyadari bahwa kulit putih dan kulit berwarna yang punya privilege sekolah di universitas menjadi paranoid oleh situasi yang tidak benar2 mereka pahami.

Selasa, 12 Agustus 2008

Jangan Pernah membohongi Pemilih

“Jangan pernah berbohong kepada pemilih..”, mungkin itu nasihat yang bagus buat para calon legislative, calon kepala daerah, atau calon Presiden kita. Walaupun “berbohong” pada saat kampanye itu dipandang “politically correct”, atau sah-sah saja, tetapi dampaknya bisa jadi boomerang terhadap diri sendiri.

Setidaknya pelajaran itu diambil dari observasi terhadap beberapa pemilih loyal Republikan dan pendukung Hillary yang pada akhirnya beralih kepada Obama. Disini saya akan mencuplik dua contoh dari sekian banyak cerita dari pemilih loyal yang "selingkuh".

Yang pertama adalah keluarga besar suami saya yang Republikan tulen dengan segala atributnya: Kristen konservatif dan sangat patriotis. Ketika George W. Bush mengobarkan perang terhadap terorisme, mereka mengirimkan anak-anak lelakinya ke medan tempur di Irak. Ketika reruntuhan menara World Trade Center di New York diabadikan dalam sebuah kapal laut, mereka dengan bangga menyebarkan fotonya kemana-mana, dan tentu saja mereka selalu vote untuk Partai Republik.

Tetapi, rupanya mereka sekarang sepakat untuk beralih memilih Obama. Alasan ‘resmi’nya sih karena McCain sudah terlalu karatan di dunia politik, dan kalau dia jadi Presiden mereka ragu akan adanya perubahan. Akan tetapi, lama kelamaan mereka dengan semangat menyuarakan kekecewaan terhadap pemerintah sekarang (Partai Republik). Jadi, sebetulnya anak-anak lelaki itu menolak untuk dikirim ke Irak, tetapi orang tua mereka terus mendesak. Ditambah lagi, pemerintah menjanjikan beasiswa sebesar $80,000 per tahun untuk sekolah intelijen jika mereka melakukan servis selama 2 tahun di Irak. Ternyata, setelah rampung melakukan pelayanan militer, janji beasiswa $80,000 setahun itu tidak pernah dipenuhi.

Tentu saja keluarga besar tersebut kecewa, apalagi anaknya yang baru pulang dari Irak malah depresi. Tadinya, mereka akan beralih memilih Hillary, tetapi menjadi urung karena Hillary pun kedapatan “berbohong”. Dalam sebuah pidato sepulang dari Irak, Hillary menyebutkan:”saya berada di tengah medan pertempuran di mana peluru dan martir berdesingan di sekeliling saya…”untuk memberi kesan bahwa ia adalah pemimpin yang tidak kenal takut. Tapi, tentu saja mantan para-militer di Irak tahu, bahwa tidak ada peluru berdesingan seperti yang diceritakan Hillary, bahkan Irak aman-aman saja ketika dia datang. Kebohongan Hilllary mengantarkan keluarga besar ini memihak kepada Obama.

Satu lagi pemilih yang beralih dari Hillary ke Obama adalah seorang dosen perempuan di University of Texas. Dia seorang Latin American yang menikah dengan Yahudi Israel. Setelah tahu Hillary berbohong ketika di Irak, dia pun menjadi penggemar berat Obama, dan tanpa malu-malu memasang pin Obama di tasnya. (Well, di Texas orang tanpa malu-malu memasang banner di tiap rumah dan halaman dengan tulisan “Obama for President”). Ketika ditanya, mengapa tidak beralih kepada McCain, spontan dia jawab “do I look like McCain’s girl?”

Dari jawaban-jawaban itu jelas sekali terungkap kekhawatiran mereka, bahwa jika politisi merasa tidak berdosa melakukan kebohongan kecil, maka mereka akan merasa nyaman untuk melakukan kebohongan lain yang lebih besar.

Apakah pemilih Amerika kritis karena mereka berpendidikan? Saya pikir tidak juga. Belajar dari pengalaman Aceh selama pemilihan Gubernur, semua analisa politik dari mulai pengamat luar negeri sampai pengamat local tidak ada yang meramalkan dengan tepat. Saya ingat, bahkan di laporan saya tentang perkembangan terakhir politik di Aceh, yang mengutip seorang analis politik terkemuka dari Australia--meramalkan akan terjadi dua putaran pemilihan. Hanya teman saya, Teuku Kemal Fasya, penulis dan antropolog dari Universitas Malikussaleh, yang meramalkan dengan tepat bahwa calon indepenen akan menang (saya tidak tahu apakah hasil pengamatannya itu ditulis di media atau tidak).

Observasi yang dilakukan Kemal sederhana saja, mampir dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya untuk mendengarkan obrolan penduduk. Sedangkan analis politik luar negeri sengaja melakukan wawancara dengan penduduk—dan ini kesalahan fatal, karena kultur “tepu-tepu Aceh” memberikan jawaban yang menyesatkan. Ternyata, dari obrolan warung kopi itu terungkap bahwa penduduk sudah tidak percaya kepada partai politik yang kerjaannya membohongi mereka melulu.

Walaupun memberikan janji-janji (janji yang tidak ditepati kan bohong juga namanya?), kepada publik selama kampanye sudah menjadi kebiasaan, lebih baik hilangkan kebiasaan itu. Pemilih kita, walaupun tidak berpendidikan, juga bisa kritis jika menyangkut hajat hidup mereka. Mulailah didik pemilih dengan cara yang cerdas. Terutama untuk para calon legislative, masa kampanye pemilu yang panjangnya satu tahun ini bisa dipenuhi dengan melakukan community development.

Buat sahabatku Dina Martiany,SH, MSi, yang akan maju di Pemilu 2009 untuk wilayah Jawa Barat 7)

Senin, 04 Agustus 2008

The Capitol at Austin




The Capitol adalah gedung tempat Senat dan House Representative berkantor dan bersidang. Menurut cerita, The Capitol di Austin adalah cikal bakal Capitol-nya di Washington DC dan semua state di Amerika

Gedung tersebut terbuka untuk umum dengan penjaga yang setiap saat siap ditanyai dan dengan senang hati menjawab panjang lebar pertanyaan pengunjung. Di gedung Senat dan HR terpapang foto-foto anggota dan gubernur, termasuk juru ketik sidang, juru rekam, dan penjaga pintu. Dengan kata lain, petugas ecek-ecek pun dihargai jasanya dengan dipampangkan fotonya bersamaan dengan anggota senat/HR.

Arsitektur gedung sangat mempesona dengan panel kayu yang berkualitas, dinding yang kokoh, dan pilar-pilar yang besar dan beraksen. Nggak salah jika gedung ini menjadi icon kota Austin.

Cassie Juara Merancang Busana Barbie




Hari Sabtu sebelum saya meninggalkan Indonesia, kami jalan-jalan ke Pondok Indah Mall. Sudah lama Sierra terobsesi dengan Barbie dengan pewarna rambut. Tapi karena harganya cukup mahal, kami meminta Sierra untuk menunggu sampai uang terkumpul.

Karena obsesi terhadap Barbie-lah setiap berkunjung ke Mall pasti kami mampir untuk melihatnya. Kebetulan Sabtu itu counter Barbie sedang mengadakan lomba merancang busana Barbie. Pengunjung disediakan kertas dan crayon, dan mulai merancang. Lomba ini diadakan selama 1 minggu dan pemenang diumumkan lewat telpon.

Cassie dan Brenna ikut lomba, tapi Sierra nggak berminat. Dia lebih suka memandangi barbie pujaannya. Akhirnya 2 minggu kemudian kami mendapat kabar bahwa Cassie memenangkan lomba dan mendapat hadiah satu set boneka Barbie beserta aksesoris untuk Cassie.Pada saat yang sama, Sierra dan Brenna pun mendapatkan boneka Barbie-nya.