Selasa, 12 Agustus 2008

Jangan Pernah membohongi Pemilih

“Jangan pernah berbohong kepada pemilih..”, mungkin itu nasihat yang bagus buat para calon legislative, calon kepala daerah, atau calon Presiden kita. Walaupun “berbohong” pada saat kampanye itu dipandang “politically correct”, atau sah-sah saja, tetapi dampaknya bisa jadi boomerang terhadap diri sendiri.

Setidaknya pelajaran itu diambil dari observasi terhadap beberapa pemilih loyal Republikan dan pendukung Hillary yang pada akhirnya beralih kepada Obama. Disini saya akan mencuplik dua contoh dari sekian banyak cerita dari pemilih loyal yang "selingkuh".

Yang pertama adalah keluarga besar suami saya yang Republikan tulen dengan segala atributnya: Kristen konservatif dan sangat patriotis. Ketika George W. Bush mengobarkan perang terhadap terorisme, mereka mengirimkan anak-anak lelakinya ke medan tempur di Irak. Ketika reruntuhan menara World Trade Center di New York diabadikan dalam sebuah kapal laut, mereka dengan bangga menyebarkan fotonya kemana-mana, dan tentu saja mereka selalu vote untuk Partai Republik.

Tetapi, rupanya mereka sekarang sepakat untuk beralih memilih Obama. Alasan ‘resmi’nya sih karena McCain sudah terlalu karatan di dunia politik, dan kalau dia jadi Presiden mereka ragu akan adanya perubahan. Akan tetapi, lama kelamaan mereka dengan semangat menyuarakan kekecewaan terhadap pemerintah sekarang (Partai Republik). Jadi, sebetulnya anak-anak lelaki itu menolak untuk dikirim ke Irak, tetapi orang tua mereka terus mendesak. Ditambah lagi, pemerintah menjanjikan beasiswa sebesar $80,000 per tahun untuk sekolah intelijen jika mereka melakukan servis selama 2 tahun di Irak. Ternyata, setelah rampung melakukan pelayanan militer, janji beasiswa $80,000 setahun itu tidak pernah dipenuhi.

Tentu saja keluarga besar tersebut kecewa, apalagi anaknya yang baru pulang dari Irak malah depresi. Tadinya, mereka akan beralih memilih Hillary, tetapi menjadi urung karena Hillary pun kedapatan “berbohong”. Dalam sebuah pidato sepulang dari Irak, Hillary menyebutkan:”saya berada di tengah medan pertempuran di mana peluru dan martir berdesingan di sekeliling saya…”untuk memberi kesan bahwa ia adalah pemimpin yang tidak kenal takut. Tapi, tentu saja mantan para-militer di Irak tahu, bahwa tidak ada peluru berdesingan seperti yang diceritakan Hillary, bahkan Irak aman-aman saja ketika dia datang. Kebohongan Hilllary mengantarkan keluarga besar ini memihak kepada Obama.

Satu lagi pemilih yang beralih dari Hillary ke Obama adalah seorang dosen perempuan di University of Texas. Dia seorang Latin American yang menikah dengan Yahudi Israel. Setelah tahu Hillary berbohong ketika di Irak, dia pun menjadi penggemar berat Obama, dan tanpa malu-malu memasang pin Obama di tasnya. (Well, di Texas orang tanpa malu-malu memasang banner di tiap rumah dan halaman dengan tulisan “Obama for President”). Ketika ditanya, mengapa tidak beralih kepada McCain, spontan dia jawab “do I look like McCain’s girl?”

Dari jawaban-jawaban itu jelas sekali terungkap kekhawatiran mereka, bahwa jika politisi merasa tidak berdosa melakukan kebohongan kecil, maka mereka akan merasa nyaman untuk melakukan kebohongan lain yang lebih besar.

Apakah pemilih Amerika kritis karena mereka berpendidikan? Saya pikir tidak juga. Belajar dari pengalaman Aceh selama pemilihan Gubernur, semua analisa politik dari mulai pengamat luar negeri sampai pengamat local tidak ada yang meramalkan dengan tepat. Saya ingat, bahkan di laporan saya tentang perkembangan terakhir politik di Aceh, yang mengutip seorang analis politik terkemuka dari Australia--meramalkan akan terjadi dua putaran pemilihan. Hanya teman saya, Teuku Kemal Fasya, penulis dan antropolog dari Universitas Malikussaleh, yang meramalkan dengan tepat bahwa calon indepenen akan menang (saya tidak tahu apakah hasil pengamatannya itu ditulis di media atau tidak).

Observasi yang dilakukan Kemal sederhana saja, mampir dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya untuk mendengarkan obrolan penduduk. Sedangkan analis politik luar negeri sengaja melakukan wawancara dengan penduduk—dan ini kesalahan fatal, karena kultur “tepu-tepu Aceh” memberikan jawaban yang menyesatkan. Ternyata, dari obrolan warung kopi itu terungkap bahwa penduduk sudah tidak percaya kepada partai politik yang kerjaannya membohongi mereka melulu.

Walaupun memberikan janji-janji (janji yang tidak ditepati kan bohong juga namanya?), kepada publik selama kampanye sudah menjadi kebiasaan, lebih baik hilangkan kebiasaan itu. Pemilih kita, walaupun tidak berpendidikan, juga bisa kritis jika menyangkut hajat hidup mereka. Mulailah didik pemilih dengan cara yang cerdas. Terutama untuk para calon legislative, masa kampanye pemilu yang panjangnya satu tahun ini bisa dipenuhi dengan melakukan community development.

Buat sahabatku Dina Martiany,SH, MSi, yang akan maju di Pemilu 2009 untuk wilayah Jawa Barat 7)

2 komentar:

infogue mengatakan...

artikel anda :

http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/jangan_pernah_membohongi_pemilih

promosikan artikel anda di www.infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler menurut pembaca.salam blogger!!!

Retty Hakim (a.k.a. Maria Margaretta Vivijanti) mengatakan...

http://khazanahpikir.blogspot.com/2008/04/mistakes.html

Sayangnya kalau di Indonesia orang jadi golput atau sekalian cari yang paling banyak menguntungkan secara materi...jangka pendek semua! Mungkin pusing mikirnya...semoga yang jadi caleg yang sadar diri juga...