Selasa, 04 Desember 2012

Berkencan (lagi) Di Usia 40 an (bagian 1)


Serial artikel "Berkencan (lagi) di Usia 40 an" adalah cerita pengalaman yang ingin saya bagi dan bisa menjadi referensi bagi teman-teman yang ingin memulai hubungan lagi. Pengalaman ini sangat context-specific, karena settingnya terjadi di Amerika dengan lawan jenis warga negara Amerika pula. Walaupun demikian, semoga sharing ini bisa bermanfaat bagi perempuan di usia sebaya saya yang ingin mencoba lagi berkencan di usia yang tidak lagi muda. 

N
----------------
            Setelah melalui HTS dengan “suami” selama dua tahun (hubungan tanpa status, maksudnya masih menikah tapi secara de-facto tidak menikah, cerai juga nggak atau belum), saya mencoba keluar dari situasi ini dengan mencicipi dunia perkencanan. Tetapi setelah 18 tahun bersama pria yang sama dan hidup di dunia yang baru di mana budayanya berbeda dengan di Indonesia, saya sedikit bingung bagaimana memulai kencan lagi. Selain itu, tidak mudah mencari prospektif partner dengan mengandalkan serendipity; seberapa jauh sih kita bisa melangkah dan kebetulan bertemu dengan pria idaman jika rute aktifitas yang kita lalui masih itu-itu juga dari hari ke hari, terutama dengan padatnya jadwal untuk bekerja dan mengurus anak-anak?       
Akhirnya, saya memutuskan untuk bergabung di online dating. Jangan kaget dulu, namanya juga kan tasting the water. Saya klik website kencan yang paling besar dan familiar dan mulai membuat profil. Langkah pertama yang mereka anjurkan adalah saya membuat judul yang catchy, karena diantara puluhan atau ratusan perempuan yang beredar di jalur kencan maya, tentulah saya ingin merebut perhatian, bukan? Lalu saya bubuhkan judul, foto close up, dan dua buah foto casual seluruh badan. Saya memilih foto yang diambil oleh orang lain, bukan foto yang diambil sendiri dengan memakai HP/webcam. Karena saya tidak akan tertarik dengan profil pria yang fotonya diambil sendiri. Narsis dan gimanaa…gitu kesannya. Jadinya saya tidak ingin membubuhkan foto narsis pula.
            Setelah memasang judul dan foto, langkah berikutnya adalah menulis bio singkat, menarik perhatian tapi nggak murahan, tentang siapa saya dan apa yang saya cari. Karena saya memasang profil di jaringan kota tempat saya tinggal di wilayah barat New York, saya paparkan secara terus terang bahwa saya berasal dari Asia Tenggara, hangat, dan friendly (ceileh..). Kemudian saya paparkan bahwa saya mencari pria yang matang, intelek kalau diajak ngobrol, dan bertanggung jawab. Langkah selanjutnya adalah menulis kegiatan, olah raga, atau hal-hal yang digemari. Tidak hanya itu, mereka juga ingin tahu warna kulit, warna rambut, warna mata kita termasuk warna- warni yang melekat di tubuh pria idaman, jenis pekerjaan, penghasilan, dan tingkat pendidikan apa yang kita cari dari calon partner? Setelah melalui proses semua itu, akhirnya profil saya selesai dibuat dan mulailah saya “menjual” diri di jalur kencan.
            Saya membayar keanggotaan untuk tiga bulan karena beberapa alasan: pertama, harganya paling murah jika dibandingkan keanggotaan satu bulan, 6 bulan, atau satu tahun. Kedua, saya tidak yakin akan menemukan pria yang tepat dalam waktu satu bulan. Tiga bulan rasanya cukup untuk mencoba dan jika tidak berhasil menemukan seseorang, saya akan cabut dari kencan di dunia maya.
            Ternyata, sehari setelah profil saya beredar, saya mendapat beberapa kedipan (wink) dan e-mail. Saya tidak menanggapi kedipan, karena jika pria itu memang serius ingin kenalan, pastinya dia akan menulis e-mail. Dalam jangka waktu dua bulan, saya menerima e-mail lebih dari 100 orang, tetapi hanya membalas 22 e-mail yang saya anggap menarik. Setelah saling berkenalan dengan 22 orang tersebut, kami sepakat untuk bertemu di dunia nyata.
            Untuk perkenalan di dunia nyata, saya selalu memilih coffee shop yang tidak jauh dari rumah dan bertemu di siang atau sore hari. Biasanya saya selalu datang 10 menit lebih awal dan membeli kopi sendiri, karena jika si pria membelikan kopi akan mengakibatkan lemahnya posisi control saya akan pertemuan itu (Amerika banget deh). Jika pertemuan di warung kopi ini menyenangkan, maka si pria akan mengajak bertemu lagi untuk pergi berkencan di lain waktu.
           Masalahnya, saya bertemu dengan 22 orang yang semuanya mengajak bertemu lagi. Karena pria yang saya cari adalah kisaran usia 44 sampai 52 tahun, maka sebagian mereka pernah menikah dan mempunyai anak. Sebagian besar adalah eksekutif di perusahaan yang secara ekonomi mapan dan punya kesamaan: MBA, kulit putih, dan konservatif. Kadang-kadang saya berpikir, kok bisa saya "terjebak" dalam pattern yang sama. Tetapi salah seorang dari mereka menanggapinya secara bercanda: "maybe conservatives are better lovers". Sedangkan alasan mereka memilih saya adalah “good catch”,  karena berpendidikan tinggi dan enak diajak ngobrol adalah dua dari banyak alasan yang dikemukakan.
              Dari 22 orang ini saya harus memilih: siapa yang paling sedikit punya masalah dengan masa lalu? Siapa yang merasa confident dengan hidupnya? Siapa yang tidak perhitungan? Dan yang paling penting, dengan siapa saya merasa nyaman saat ini dan di masa depan? Dari 22 orang tersebut akhirnya saya memilih fokus terhadap 4 orang. Singkat cerita, di bulan kedua profil saya beredar di dunia maya, saya sudah mendapat 2 calon kuat yang ingin saya seriusi, dan saya meninggalkan website kencan padahal masih punya satu bulan sebelum masa keanggotaan habis. (Bersambung ke “Dating Landscape yang Berbeda). 

Tidak ada komentar: